Kamis, 11 November 2010


AKIKAH: Kurban atas Anak yang Baru Lahir
Oleh: Muhammad ESA
Arti Leksikal Akikah
            Akikah (Ar.: ‘aqiqah [akar kata ‘aqqa] = membelah dan memotong). Menurut istilah syar’i (yang berdasarkan syarak) adalah binatang yang disembelih sebagai kurban atas anak yang baru lahir.
Hukum Akikah
Fukaha (ahli fikih) mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang hukum akikah sebagai berikut :.
1.      Segolongan fukaha, di antaranya para pengikut Daud az-Zahiri, Imam Hasan al-Basri, dan Imam Lais bin Sa’ad, berpendapat bahwa akikah adalah wajib.
2.      Jumhur (mayoritas) ulama seperti Imam Malik, ulama Madinah, Imam Syafi’I serta para pengikutnya, imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali), Ishaq, Abu Saur, dan segolongan besar ahli fikih dan mujtahid (ahli ijtihad) lainnya berpendapat bahwa hukum akikah adalah sunah.
3.      Para fukaha pengikut Abu Hanifah (Imam Hanafi) berpendapat bahwa akikah tidak wajib dan tidak pula sunah, melainkan termasuk ibadah tatawwu’ (sukarela).
Dasar Hukum Akikah
            Perbedaan pendapat tersebut muncul disebabkan adanya perbedaan pemahaman terhadap hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah ini sebagai berikut
  1.  “Setiap anak tergadai dengan akikahnya. (Binatang) itu disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dan pada hari itu juga kotoran dibersihkan darinya” (HR. at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah).
  2. “Aku tidak suka sembelihan-sembelihan (akikah). Akan tetapi, barangsiapa dianugerahi seorang anak, lalu dia hendak menyembelih hewan untuk anaknya itu, dia dipersilakan melakukannya” (HR. al-Baihaki).
Hewan Akikah
            Dalam masalah hewan yang digunakan untuk akikah terdapat perbedaan pendapat diantara para fukaha sebagai berikut :
  1. Jumhur fukaha berpendapat bahwa hewan yang boleh dipakai untuk akikah hanyalah hewan yang bisa disembelih untuk kurban yang terdiri atas delapan macam (empat pasang) binatang.
  2. Imam Malik lebih suka memilih domba (da’n) sesuai dengan pendapatnya tentang hewan kurban.
  3. Fukaha lain berpegang pada prinsip bahwa unta lebih utama daripada sapi dan sapi lebih utama daripada domba.
Dasar Hukum Hewan Akikah
            Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena adanya pertentangan antara hadis-hadis mengenai akikah dan kias sebagai berikut :
  1. “Rasulullah saw menyembelih (akikah) untuk Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi saw, masing-masing satu kambing” (HR. Ibnu Abbas ra).
  2. “Akikah anak perempuan adalah satu kambing, sedangkan untuk akikah anak laki-laki adalah dua kambing” (HR. Abu Dawud).
  3. Menurut kias, karena akikah adalah suatu ibadah yang berupa penyembelihan binatang, seharusnya diutamakan hewan yang lebih besar karena dipersamakan dengan penyembelihan hewan al-hadyu(kurban).
Tentang umur dan sifat hewan akikah, para fukaha sepakat, sama dengan umur dan kondisi hewan kurban, yakni harus bersih dari cacat.
Usia Orang Yang Diakikahi
Perbedaan pendapat tentang usia orang yang akan diakikahi sebagai berikut :
  1. Jumhur fukaha berpendapat bahwa yang diakikahi adalah anak laki-laki dan  anak perempuan yang masih kecil. Pendapat ini disandarkan atas keterangan hadis bahwa akikah dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran anak.
  2. Sebagian fukaha bahkan berpendapat  membolehkan akikah untuk orang dewasa. Pendapatnya disandarkan pada sebuah riwayat dari Anas bin Malik bahwa Nabi saw mengakikahi dirinya sesudah diutus sebagai Nabi.
Jumlah Hewan Akikah
            Dalam menentukan jumlah hewan akikah terdapat pula perbedaan pendapat dari para fukaha sebagai berikut :
  1. Imam Malik, berpendapat cukup satu ekor kambing, baik untuk anak laki-laki maupun untuk anak perempuan.
  2. Imam Syafi’I, Abu Saur Ibrahim bin Khalid Yamani al-Kalbi, Abu Dawud, dan Ahmad, berpendapat untuk anak perempuan adalah satu ekor kambing dan untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing.
Waktu Penyembelihan
            Untuk waktu penyembelihan hewan akikah menurut pendapat fukaha sebagai berikut:
  1. Jumhur fukaha berpendapat harus dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran anak.
  2. Sebagian fukaha malah membolehkan penyembelihan dilaksanakan pada pekan kedua atau pekan ketiga dari kelahiran anak.
  3. Tetapi bagi fukaha yang membolehkan akikah untuk orang dewasa, maka penyembelihan itu tentunya boleh dilakukan pada usia dewasa.
Hukum daging akikah serta bagian-bagian lainnya sama dengan hukum daging kurban dalam hal makan, sedekah, dan larangan menjualbelikannya.
Dalam masyarakat Islam, tradisi upacara akikah biasanya dihubungkan dengan upacara pencukuran rambut dan penamaan anak. Hal tersebut didasarkan pada hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Hasan dari Samurah yang artinya: “ Setiap anak tergadai dengan akikahnya. Pada hari ketujuh ia disembelihkan akikah itu, rambutnya dicukur, dan diberi nama.” Upacara tersebut merupakan reaksi Islam terhadap tradiri Jahiliah. Sebelum Islam datang, setiap kepala anak yang baru lahir biasa dinodai dengan darah binatang sembelihan, kemudian kebiasaan ini dibatalkan oleh Islam dan diganti dengan akikah.
Hikmah-hikmah Akikah
·        Merupakan kurban yang mendekatkan anak kepada Allah swt sejak masa awal menghirup udara kehidupan.
·        Merupakan tebusan bagi anak untuk memberikan syafaat pada hari akhir kepada kedua orang tuanya.
·        Mengokohkan tali persaudaraan dan kecintaan di antara warga masyarakat dengan berkumpul di satu tempat dalam menyembut kehadiran anak yang baru lahir.
·        Merupakan sarana yang dapat merealisasikan prinsip-prinsip keadilan sosial dan menghapuskan gejala kemiskinan di dalam masyarakat, misalnya dengan adanya daging yang dikirim kepada fakir miskin.


Hari Ketujuh Detak Kehidupanmu
penulis Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran
new1 Permata Hati 14 - Agustus - 2003 07:09:37
Memasuki umur tujuh hari orang tua dituntunkan melakukan aqiqah bagi anak yg baru lahir. Bersamaan dgn itu dicukurlah rambut si kecil dan diberi nama.
Si kecil meni’mati buaian bersama guliran waktu. Sosok masih begitu mungil tdk berdaya begitu mengharap segala kebaikan dan uluran tangan ayah dan ibunya. Kini usia telah mencapai hitungan tujuh hari.
Banyak yg ingin dilakukan oleh orang tua utk memperingati usia ketujuh buah hatinya. Bubur “dwi warna” pun diolah dan dibagi-bagikan ke tetangga kiri-kanan atau membuat tumpeng lengkap dgn lauk-pauk utk disajikan pada para tamu undangan ataupun berbagai acara lain yg tabu bila tdk diselenggarakan.
Namun tdk boleh dilupa itu semua bukanlah ajaran Islam. Syariat telah menentukan apa yg mesti dilakukan oleh orang tua pada hari ketujuh kelahiran permata hatinya. Walaupun begitu kadang justru tdk terpikirkan utk melaksanakannya. Andai ayah dan bunda mau menelaah kembali apa yg dituntunkan oleh Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam pada saat bayi memasuki hari ketujuh kelahirannya.
Beliau Shallallhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pada hari itu dilaksanakan aqiqah. Aqiqah adl nama sembelihan utk seorang anak yg baru lahir.
Mengenai hal ini seorang shahabat yg mulia Sulaiman bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu mengatakan:
“Saya mendengar Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda: Setiap anak bersama aqiqah mk sembelihlah hewan dan hilangkanlah gangguan darinya.”
Demikian pula Samurah bin Jundab radhiallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
”Setiap anak tergadai dgn aqiqah mk pada hari ketujuh disembelih hewan dicukur habis * rambut dan diberikan nama.” : “Ini hadits shahih”.}
Barangkali akan timbul tanda ta apa maksud perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tiap anak tergadai dgn aqiqahnya. Para ulama berselisih tentang makna sabda Rasulullah Shallallalhu ‘alaihi wa sallam ini. Namun pendapat yg paling baik di antara pendapat yg ada datang dari Al-Imam Ahmad rahimahullah . Beliau menjelaskan bahwa ini berkenaan dgn syafaat. Apabila seorang anak meninggal semasa kanak-kanak dlm keadaan belum diaqiqahi mk dia tdk dapat memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya.
Dalam ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pun didapati dalil bahwa waktu pelaksanaan aqiqah itu pada hari ketujuh kelahiran seorang anak dan tdk disyariatkan pelaksanaan aqiqah sebelum ataupun setelah hari ketujuh ini.
Dalam Nailul Authar disebutkan bahwa aqiqah ini merupakan perkara yg sunnah. Demikian yg dipegangi oleh sekelompok besar para ulama. Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayah dari kakek bahwa Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yg lahir anak dan ingin menyembelih utk kelahiran anak hendak dia laksanakan dua ekor kambing yg setara utk anak laki2 dan seekor kambing utk anak perempuan.”
Juga pada hadits ini didapati penjelasan bahwa pada pelaksanaan aqiqah disembelih dua ekor kambing utk seorang anak laki2 dan satu ekor kambing utk anak perempuan. Begitu pula yg disampaikan kepada para shahabat oleh Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada mereka:
“Disembelih dua ekor kambing yg setara bagi seorang anak laki2 dan seekor kambing utk seorang anak perempuan.”
Pernah pula seorang shahabiyah Ummu Kurz radhiallahu ‘anha mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
“Disembelih dua ekor kambing bagi seorang anak laki2 dan seekor kambing utk seorang anak perempuan tdk mengapa kambing jantan ataupun kambing betina.”
Maksud dua kambing yg sama yg disembelih bersamaan tdk ditunda penyembelihan salah satu dari keduanya. Sedangkan Al-Imam Ahmad t menerangkan bahwa makna dua kambing yg hampir sama {} dan Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullah menjelaskan yaitu setara umurnya.
Dalam hadits-hadits di atas didapati pula dalil yg dipegangi oleh sekelompok besar ulama tentang perbedaan banyak kambing yg disembelih dlm aqiqah ini bagi anak laki2 dan anak perempuan.
Setelah penyembelihan dilaksanakan disenangi utk mengolah daging aqiqah itu terlebih dahulu sebelum diberikan krn orang2 miskin dan para tetangga yg menerima tdk merasa repot lagi memasaknya. Hal ini akan menambah kebaikan serta rasa syukur terhadap ni’mat tersebut. Para tetangga anak-anak serta orang2 miskin dapat meni’mati hidangan itu dgn gembira krn orang yg menerima daging yg sudah dimasak siap dimakan dan lezat rasa tentu merasa lbh gembira dibandingkan pemberian daging mentah yg masih membutuhkan tenaga utk mengolahnya.
Selain penyembelihan hewan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pada hari itu dicukur pula rambut bayi. Ini bisa disimak dari ucapan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg disampaikan oleh Samurah bin Jundab radhiallahu ‘anhu:
”Setiap anak tergadai dgn aqiqah mk pada hari ketujuh disembelih hewan dicukur habis rambut dan diberikan nama.”
Juga dlm riwayat Sulaiman bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu:
“Setiap anak bersama aqiqah mk sembelihlah hewan dan hilangkanlah gangguan darinya.”
Menghilangkan gangguan
Akan tetapi perlu diperhatikan rambut bayi harus dicukur habis pada keseluruhan bagian kepala tdk boleh hanya mencukur habis pada sebagian kepala saja dan membiarkan bagian yg lain yg diistilahkan dgn qaza’. Berkenaan dgn larangan ini ‘Abdullah ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma mengatakan:
Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammelarang dari qaza’.
‘Ubaidullah bin Hafsh salah seorang rawi hadits ini menerangkan lbh lanjut tentang pengertian qaza’ rambut bayi dicukur lalu disisakan bagian ubun-ubun dan kedua samping kepala.
Qaza’ ada beberapa bentuk. Ada yg dicukur beberapa tempat saja ada yg dicukur rambut bagian tengah dan disisakan bagian samping sebagaimana yg dilakukan oleh para penjaga gereja di kalangan Nashara ada yg dicukur rambut bagian samping dan disisakan bagian tengah seperti orang2 gembel dan orang rendahan ada pula yg dicukur rambut bagian depan dan disisakan bagian belakang kepala. Ini semua termasuk bentuk qaza’.
Selain hal-hal di atas perlu diketahui bahwa tdk disyariatkan mengusapkan darah sembelihan pada kepala bayi setelah rambut dicukur. Bahkan ini adl perbuatan jahiliyah yg telah dihapuskan setelah turun syariat Islam seperti yg dikisahkan oleh Buraidah radhiallahu ‘anhu:
“Dulu ketika kami masih dlm masa jahiliyah apabila lahir anak salah seorang di antara kami mk dia menyembelih kambing dan mengoleskan darah ke kepala bayi itu. mk ketika Allah datangkan Islam kami menyembelih kambing mencukur rambut bayi dan mengolesi kepala dgn za’faran .”
Ini juga menunjukkan disenangi mengoleskan za’faran atau jenis wewangian yg lain pada kepala bayi setelah dicukur.
Yang juga tdk lepas dari pelaksanaan aqiqah ini adl pemberian nama. Ini dapat dilihat dlm hadits Samurah bin Jundab radhiallahu ‘anhu yg telah lalu. Demikianlah seseorang yg hendak mengaqiqahi anak hendak menangguhkan penamaan hingga hari ketujuh. Apabila tdk hendak diaqiqahi mk dia bisa memberikan nama pada anak pada hari kelahirannya.
Inilah rangkaian yg mesti diselenggarakan pada hari ketujuh kelahiran si buah hati. Tentu tdk ada pilihan lain bagi ayah dan bunda kecuali memberikan yg terbaik bagi anak-anak dgn mempersembahkan seluruh perikehidupan di atas jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber: www.asysyariah.com

Islam dan Budaya Lokal

Sejauh ini Islam di Indonesia dinilai lebih toleran terhadap budaya. Toleransi tersebut ditunjukkan dengan adanya sikap akomodatif terhadap budaya lokal. Sikap itu mencerminkan adanya kemampuan dan kemauan Muslim Indonesia untuk menyerap budaya lokal menjadi bagian dari ajaran Islam. Budaya dipandang sebagai bagian yang inheren dengan kehidupan masyarakat, sehingga tidak memungkinkan bagi sebuah gerakan yang membawa nafas rahmatan lil’alamin memberangus sesuatu yang sudah menjadi bagian dari masyarakat.
Kritik dan Afirmasi
Konsekuensinya, keislaman di Indonesia berbeda dengan mainstream yang berkembang di “pusat” pertumbuhan Islam. Mistisisme yang sebagian besar merupakan musuh gerakan Islam di Haramain (Mekah dan Madinah), di Indonesia justru menyatu dengan tradisi Islam.
Kondisi semacam ini memang menimbulkan banyak kesalahpahaman. Bagi sebagian pengamat, Indonesia dikategorikan sebagai “Islam yang jelek”. Kategori ini mendorong Nikki Keddie untuk meneliti sejauhmana perbedaan Islam yang berkembang di Timur Tengah dengan di Asia Tenggara (Indonesia). Penelitian Keddie menemukan bahwa pada dasarnya Islam yang berkembang di Timur Tengah tidak semuanya anti terhadap budaya lokal (budaya mistik). Di Kairo dan beberapa tempat lain didapatkan gejala yang serupa dengan di Asia Tenggara (2000). Berarti Islam yang bercampur dengan budaya lokal tidak khas Indonesia, dan tidak menunjukkan sebagai Islam yang jelek. Dalam konteks tradisi Islam dalam kekhilafahan Fatimiah di Mesir (abad ke-3/4 M), mistisisme—sebagaimana di Indonesia—juga berkembang luas. Padahal saat itu umat Islam sedang berada pada masa keemasan peradaban.
Dengan demikian, Islam yang bercampur dengan budaya lokal adalah gejala normal dari dinamika umat Islam. Pergumulan dan interaksi umat Islam dengan beraneka macam budaya akan mengondisikan munculnya karakter yang lebih akomodatif. Sebaliknya, semakin minim interaksi umat Islam dengan kebudayaan lokal, akan semakin miskin apresiasinya terhadap budaya lokal. Oleh penentangnya, budaya lokal dianggap sebagai sesuatu diluar Islam, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai transenden. Budaya adalah karya manusia, sedangkan Islam adalah karya Tuhan. Jadi penolakan terhadap budaya lokal disebabkan oleh pendasaran agama pada sesuatu yang transenden secara keseluruhan.
Padahal jika diteliti lebih jauh, kandungan Al-Quran sendiri menggambarkan adanya akomodasi terhadap budaya lokal (Arab). Respon Al-Quran bermuara pada dua kemungkinan, yakni mengkritik atau mengonfirmasi budaya lokal tersebut. Kritik dilakukan sepanjang budaya tersebut menistakan kehormatan manusia. Sedangkan konfirmasi diberikan kepada budaya yang sejalan dengan cita-cita kemanusiaan. Dalam hal ini Imam Syatibi merumuskannya secara sistematis dalam maqoshid al-syari’ah (tujuan syari’at), diantaranta: pertama, menjaga dan memelihara kepentingan dan kemaslahatan manusia, dan kedua, syari’at agama diberlakukan untuk dipahami dan dihayati manusia. Jadi, relasi agama dan budaya terjadi dalam bentuk kritik dan afirmasi. Tidak semua budaya ditolak lantaran berasal dari kreasi manusia.
Prinsip Kausalitas
Islam dibangun dengan prinsip-prinsip kausalitas: senantiasa terdapat pola sebab akibat yang dapat diteliti oleh manusia, sehingga otoritas agama tidak diserahkan kepada al-Quran secara pasif. Pernyataan senada diungkapkan oleh Ali r.a. bahwa teks al-Quran tidak bisa “berbicara”, manusialah yang membuatnya “berbicara”. Jadi, prinsip-prinsip kausalitas itulah yang menjadi pedoman dalam menghayati semangat ajaran agama. Otoritas itu tidak diletakkan secara ekstrim pada manusia semata, melainkan pada kemampuan memahami tujuan syariat. Produk pengetahuan manusia itu pun memang bersifat relatif, sebagaimana relatifnya kemampuan manusia sendiri dalam memahami pola sebab akibat tersebut.
Memang tidak dapat dipungkiri adanya kontestasi di masa penyebaran Islam di Indonesia (abad ke-14 M) antara pedagang dan pendakwah Muslim di satu sisi, dengan elit-elit lokal di lain sisi. Sikap akomodatif Islam terhadap budaya menggambarkan adanya pengaruh elit-elit lokal yang cukup kuat. Budaya lokal umumnya terkait dengan legitimasi terhadap kekuasaan penguasa lokal. Karena itu semakin kuat pengaruh penguasa lokal, akan semakin besar kemungkinan sikap akomodatif Islam terhadap budaya lokal. Kecenderungan ini masih dinilai normal, dalam arti sejalan dengan ajaran Islam, sepanjang budaya lokal tersebut tidak menistakan nilai-nilai kemanusiaan. Kiprah Wali Songo dalam islamisasi masyarakat di Nusantara mencerminkan sikap akomodatif yang berlandas pada maqoshid al-syari’ah. Budaya lokal diadopsi sebagai instrumen untuk “membungkus” isi Islam, dan dijadikan sebagai bagian dari ajaran Islam sepanjang itu sesuai dengan semangat memuliakan manusia.
Kentalnya warna Islam lokal di Indonesia menggambarkan pula kualitas Islam itu sendiri. Islam tidak diturunkan untuk “memaksa” manusia menyembah Tuhan, melainkan untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Awang Darmawan (Aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kota Makassar)

Pentingnya Merapatkan Shaf Salat


Pentingnya Merapatkan Shaf Salat

Dalam riwayat lain disebutkan “Hendaklah Kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan menyelisihkan di antara wajah-wajah kalian.”(Hadist riwayat Bukhari). Dua dalil ini mengisyaratkan kepada kita bahwa meluruskan dan merapatkan shaf adalah wajib dalam salat berjamaah. Mengapa wajib? Karena di akhir sabda rasul ini didapati ancaman jika kita membiarkan shaf renggang
Jumat pekan lalu, saya melaksanakan salat Jumat di salah satu masjid di kawasan Jalan Pongtiku. Tidak banyak yang sempat saya dengarkan dari khutbah saat itu. Bukan karena saya tertidur seperti kebanyakan kita yang tertidur saat khotib menyampaikan khutbahnya atau bicara bersama teman di samping saya. Itu karena saya telat hadir di masjid saat itu sehingga mungkin pahala yang saya dapatkan hanya sebutir telur ayam.
Khutbah selesai dan muadzin segera ambil posisi dan mengumandangkan iqamah. Shalat Jumat berjamaah akan segera dimulai. Imam pun mengingatkan kepada jamaah untuk meluruskan shaf dan merapatkannya sebelum nantinya ia mengangkat takbir.
Saya pun antusias merapikan dan mengajak jamaah yang lain untuk merapatkan shaf. Beberapa kali saya menyeru namun orang di samping saya tak juga merapat. Akhirnya kubiarkan saja shaf itu renggang dan kumulai untuk ikut takbir.
Dalam hati sempat terbersit kekesalan akan orang yang di samping saya yang tidak mau merapatkan shafnya. Seperti kebiasaan saya menggumam dalam hati setiap kali saya salat di masjid. Apalagi masjidnya agak besar.
Sering saya berpikir, mengapa kita selalu membiarkan shaf kita tidak rapi, membiarkan celah menganga di mana-mana. Mengapa di masjid besar tak pernah kutemukan jamaah salat dengan shaf yang lurus, rapat dan rapi? Apakah ini meniscayakan keseharian kita yang enggan bersatu? Lewat tulisan ini, semoga kita bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan kita dalam berjamaah.
Merapatkan Shaf
Jamaah sendiri berasal dari kata Al-Jam’u, Al-Jam’ah yang berarti jumlah manusia yang banyak. Lawan dari kata ini adalah Al-Mutafarruq (perpecahan). Dengan kata lain, salat berjamaah itu adalah salat yang dilakukan secara bersama antara imam dan makmum dan di dalammnya terdapat ketentuan atau syarat-syarat tertentu.
Salah satu ketentuannya adalah meluruskan dan merapatkan shaf. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Nu’man bin Basyir ra. Rasululullah SAW pernah bersabda “Luruskan (samakanlah) shaf-shaf kalian (beliau mengulangi 3 kali), maka demi Allah  hendaklah kalian meluruskan shaf kalian atau sungguh Allah akan menyelisihkan di antara hati-hati kalian.”
Dalam riwayat lain disebutkan “Hendaklah Kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan menyelisihkan di antara wajah-wajah kalian.”(Hadist riwayat Bukhari). Dua dalil ini mengisyaratkan kepada kita bahwa meluruskan dan merapatkan shaf adalah wajib dalam salat  berjamaah. Mengapa wajib? Karena di akhir sabda rasul ini didapati ancaman jika kita membiarkan shaf renggang.
Allah Azza Wa Jalla juga berfirman “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang rapi (teratur) seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (Surah Shaf : 4). Ayat ini menyerukan kepada manusia untuk merapatkan barisan dalam jihad di jalanNya.
Tidak hanya dalam jihad berperang tetapi juga salat berjamaah. Salat berjamaah juga merupakan jihad, karena dalam melaksanakannya kita dituntut untuk rela meninggalkan pekerjaan, perdagangan kita atau aktivitas apapun itu.
Kita juga sering mendapati imam menyeru acap kali ingin memulai salat berjamaah. “Sawu shufufakum..” atau “Luruskan dan rapatkan shaf..” agar para jemaah mudah mengerti. Di saat seperti ini semestinya para  jemaah wajib menaati perintah sang imam untuk merapatkan shaf. Karena antara imam dan makmum terdapat relasi instruksional agar makmum mengikuti imam.
Dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad SAW bersabda “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk kamu ikuti, maka janganlah kamu menyelisihinyaà” Jelaslah bahwa sebagai seorang makmum kita harus mengikuti imam, baik gerakan atau perintahnya, termasuk seruan merapatkan shaf.
Dimensi Sosial
Ada banyak makna yang terkandung dalam salat berjamaah. Terlebih jika kita merapikan dan merapatkan shaf kita. Beragam manfaat yang ditawarkannya. Pertama, salat berjamaah mampu membangun hubungan emosional yang erat di antara kita. Membangun kepedulian satu sama lain. Salam di akhir shalat itulah yang merupakan manifestasi kepedulian kita.
Mendoakan keselamatan bagi orang yang berada di kiri kanan kita. Terkadang, dua orang yang bermusuhan bisa kembali berbaikan jika ia shalat berjamaah.
Kedua, dalam salat berjamaah terdapat kesetaraan. Kesetaraan sebagai manusia yang sama di hadapan sang Khalik. Tak ada diferensiasi antara si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat. Semua sama, semua punya hak untuk berada di dalam satu shaf. Terlebih ketika diri ini bersujud, merendahkan diri di hadapanNya.
Semua itu bermuara pada dimensi terpenting dalam salat berjamaah. Adalah memupuk rasa integritas, kesatuan gerak, kesatuan rasa. Semua bersatu dalam gerak harmoni seirama, dipimpin oleh satu imam. Dimensi sosial inilah yang sebenarnya bisa memberikan stimulus bagi perkembangan perilaku kita.
Toleran, kerukunan dan kebersamaan. Hal yang jarang kita dapati dalam kehidupan nyata. Padahal, jika kita mengamati kemajuan prilaku religiusitas masyarakat sekarang semakin meningkat.
Coba tengok, masjid yang dulunya sering kosong melompong kini telah diisi oleh jemaah. Di masjid dekat rumah saya, jamaah salat isya yang dulunya tidak lebih dari satu shaf kini merapat ke belakang hingga mencapai tiga saf. Bak gayung bersambut, pembangunan masjid pun di mana-mana.
Data dari Departemen Agama menunjukkan saat ini kurang lebih ada sekitar 700 ribu buah masjid tersebar di seluruh pelosok negeri. Meningkat dari tahun 2004 yang jumlahnya hanya 643.834 buah masjid. Pengurus masjid berlomba-lomba mempercantik bangunan masjid dengan memugar sana-sini, berusaha keras agar jemaah nyaman berada di dalam masjid.
Entah tujuannya untuk apa. Apakah agar pemasukan celengan masjid bertambah atau apalah. Terlepas dari tendensi dan motivasi di baliknya, yang jelas kita bersyukur atas semua itu. Karena masyarakat kita kini lebih religius. Jika begitu, mengapa toleransi, kerukunan dan kebersamaan sulit kita raih? Mengapa kita masih saja saling menghujat dan menyalahkan satu sama lain?
Hingga berujung pada pertikaian, tawuran yang tak jarang merenggut nyawa. Seakan menganggap perdamaian, prestise itu hanya diperoleh dari perang. Mengapa kita malah semakin “buas” setelah ritual keberIslaman kita meningkat? Justru banyak di antara kita yang mengaku  beriman namun malah menjadi “panglima” setiap kali ada kekerasan dengan alasan agama.
Sebuah Refleksi
Mungkin salah satunya disebabkan karena kekeliruan kita dalam menjalankan aktivitas keberagamaan kita. Kita menganggap bahwa ibadah hanya sekedar dimensi ritual an sich. Tak ada dimensi sosial di dalamnya.
Salah satunya, dalam melaksanakan shalat berjamaah. Kita enggan menyempurnakan dan  merapatkan shaf. Padahal ketika berjamaah itulah moment dimana seluruh umat muslim bisa bersatu. Tak ada perbedaan, satu kata dan perbuatan. Kita tentunya sangat menantikan hal itu. Dimana toleran, kerukunan dan kebersamaan terangkum dalam kehidupan sosial kita.
Umat Islam bersatu. Namun jika kita masih enggan, sangat naif jika kita berharap umat Muslim dapat bersatu. Membagun negara ini dan bahkan melawan musuh Islam. Wajar jika perpecahan dan perselisihan itu masih ada.
Seperti hadits Rasulullah berikut ini; Hai hamba-hamba Allah, kalian benar-benar meluruskan shaf kalian (jika tidak) Allah akan (menimbulkan perselisihan) di antara wajah-wajah kalian. (HR Muslim dan Ahmad).
Oleh Awang Darmawan Mahasiswa Unismuh dan Aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kota Makassar

Rabu, 10 November 2010

SERBA GRATIS ITU TAK MENDIDIK

SERBA GRATIS ITU TAK MENDIDIK
by Rumah Yatim Indonesia Pusat on Thursday, November 11, 2010 at 3:17am


‘ Barang siapa yang mengerjakan lebih dari apa yang dibayarkan kepadanya suatu saat akan menerima lebih dari apa yang ia kerjakan.”

Ada sebuah cerita tentang seorang raja yang suatu hari memanggil penasihatnya. Raja itu meminta kepada sang penasihat untuk menuliskan kebijakan-kebijakan pada zaman itu agar bias dibaca oleh generasi mendatang.

Setelah beberapa waktu, si penasihat datang menghadap Raja dengan membawa beberapa jilid kebijakan yang sudah ditulisnya. Setelah membacanya, sang Raja berpendapat bahwa kebijakan itu terlalu banyak dan rakyat pasti tidak bersedia membacanya.

Sang penasihat memperbaiki tulisannya dan kembali menghadap Raja dengan satu jilid. Komentar Raja masih sama, “Terlalu banyak!”

Penasihat itu pun kembali memperbaiki kebijakannya. Setelah selesai, ia datang kepada Raja untuk membacakan satu kalimat penting. “Tidak ada makan siang gratis,” katanya.

Raja mengangguk sambil berkata. “satu kalimat kebijakan itu sudah cukup untuk dibaca oleh generasi yang akan datang.” Rupanya mental Cuma-Cuma saat itu sudah sedemikian parahnya.

Pepatah lama mengatakan bahwa ada suatu harga yang harus dibayar untuk apa pun yang anda inginkan. Saya teringat beberapa tahun lalu, ketika saya memutuskan menjadi seorang penulis. Saya harus membayar impian saya tersebut dengan menghabiskan waktu berjam-jam didepan computer, menyediakan banyak waktu untuk menulis dan mengetik naskah, serta mencari data-data dan berpikir keras untuk menemukan sebuah inspirasi yang sesuai dengan buku yang saya tulis itu.

Tidak ada yang Cuma-cuma di dunia ini, termasuk untuk sebuah cita-cita. Anda harus berjuang dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mencapainya. Ingatlah bahwa semakin besar harga yang anda bayar’ semakin besar pula hasil yang akan anda dapatkan. Jika bersedia melakukan sesuatu yang tidak ingin dilakukan orang lain, kita akan memdapatkan sesuatu yang tidak akan didapat oleh orang lain. Jika bersedia mempersiapkan sesuatu lebih dari orang lain, seperti rencana yang lebih matang dan bekerja lebih keras dari yang dilakukan orang lain, kita akan mendapatkan penghargaan yang tidak didapatkan orang lain.

Pengalaman ketika anak-anak asuh kita, kita berikan sesuatu dengan cuma-cuma begitu saja maka barang tersebut dipastikan tidak akan pernah awet, mereka seenaknya saja menelantarkan barang tersebut bahkan membuangnya. tetapi ketika kita berikan sesuatu tetapi harus ada upaya untuk mendapatkannya maka barang tersebut akan menjadi kebaggaan tersendiri. misalnya : " Anak-anak akan dibagikan seragam Taek Wondoo tetapi i seragam itu bisa kalian peroleh di Rumah Ustad Aly di Tasikmalaya, kalian harus mengambilnya dengan lari atau jalan kaki dari Pesantren ini ( Manonjaya) ke Tasikmalaya yag jaraknya 5 km PP (10 Km), perginya kalian pakai baju biasa pulangnya sudah harus pakai seragam dan tidak boleh ada seorangpun yag membawa uang", maka dipastikan seragam itu akan awet dan menjadi kenangan tersendiri.

Atau misalnya lagi, Bagi para anak asuh yang siap dikirim ke Lembaga Bahasa Asing selama 1 tahun gratis wajib ketika pulang membawa teman satu lembaganya minimal 5 orang dan wajib mengajar adik-adiknya minimal 10 anak sampai bisa.maka dipastikan ketika ia dikirim akan merasakan tanggungjawab dan belajar dengan penuh kesungguhan karena sebuah penghargaan atas dirinya.

hal-hal semacam ini juga layak kita terapkan untuk anak-anak kita agar dia tumbuh dewasa tidak manja, bertanggungjawab dan mandiri.


PUASA ARAFAH HARI SENIN
Mahkamah Agung Saudi Arabiya telah mengumumkan, Sabtu (6/11) sore, bahwa awal bulan Dzul Hijjah jatuh pada hari Ahad (7/11). Keputusan ini diambil berdasarkan ru'yatul hilal (melihat bulan). Demikian dilansir Islammemo.cc (6/11).
Berdasarkan keterangan dari Mahkamah, pada Sabtu sore kemarin Mahkamah Agung mengadakan pertemuan di Riyadh dan menetapkan bahwa malam Ahad adalah awal dari bulan Dzul Hijjah 1431 H, berdasarkan kalender Umul Qura.
Melalui kantor berita Saudi, Mahkamah Tinggi Agung juga telah mengumumkan mengenai hal ini. Dalam pengumumannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa keputusan ini berlaku bagi seluruh umat Islam secara umum.
Mahkamah Agung Saudi Arabiya telah mengumumkan, Sabtu (6/11) sore, bahwa awal bulan Dzul Hijjah jatuh pada hari Ahad (7/11). Dengan demikian, berarti wukuf di Arafah bagi yang haji dan Puasa Arafah bagi yang tidak haji jatuh pada hari Senin tanggal 9 Dzul Hijjah 1431 bertepatan pada tanggal 15 November 2010. Dan Hari Raya Idul Adha tanggal 10 Dzul Hijjah 1431, jatuh pada tanggal 16 November 2010 hari Selasa.

Untuk itu agar pengetahuan kita semakin baik tentang Hari Raya Qurban, mari kita baca dan review kembali hal-hal tentang Idul Adha atau Hari Raya Qurban, silahkan klik http://www.rumah-yatim-indonesia.org/ di kolom NEWS

Harga kambing Qurban Rp.1.500.000,- bisa Anda transfer ke Rekening Rumah Yatim Indonesia
Rekening Rumah Yatim Indonesia



Bank MUAMALAT :
Nanas Nasihudin

Bank BRI :
Nanas Nasihudin




Bank BTN :
Nanas Nasihudin

Bagi Anda yang ingin konfirmasi silahkan SMS ke 081313999801 atau 087885554556 ( Ust.Aly )

Rabu, 06 Oktober 2010

Muhammadiyah dan Gerakan Pembaruan

Muhammadiyah dan Gerakan Pembaruan
Rabu, 30 Juni 2010 | 03:13 WIB
Oleh M Hilaly Basya
Tanggal 3-8 Juli 2010, Muhammadiyah akan melaksanakan muktamar ke-46 di Yogyakarta. Perhelatan ini disebut Muktamar Satu Abad Muhammadiyah.
Satu abad merupakan momen penting mengkaji ulang perjalanan dan perjuangan Muhammadiyah. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, di depan 200 tokoh agama di Roma (17/06/2009), mengisyaratkan perlunya keterlibatan agamawan untuk menyuarakan dampak pembangunan yang tidak manusiawi. Menurutnya, sejauh ini pembangunan yang dilakukan negara-negara maju dinilai lebih berorientasi pada keuntungan kelas sosial tertentu dan cenderung memarginalisasi yang lainnya.
Dalam konteks nasional, pidato ini memiliki relevansi dengan kondisi pembangunan di Indonesia yang oleh beberapa pengamat dinilai cenderung mendiskriminasi kelas sosial tertentu. Bagaimana seharusnya tokoh-tokoh Muhammadiyah menyikapi kecenderungan ini?
Secara umum, peran agamawan—terutama tokoh-tokoh Islam—dalam kehidupan sosial di Indonesia cukup menggembirakan. Mereka berhasil melakukan reinterpretasi teks-teks agama dalam upaya modernisasi. Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia sebagian besar tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan mereka. Kyai Haji Ahmad Dahlan, tokoh dan pendiri Muhammadiyah, misalnya, adalah salah satu agamawan yang memberikan teladan bagaimana menerjemahkan ajaran Islam dalam konteks pendidikan modern. Berdirinya ribuan lembaga pendidikan berbasis agama, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi modern, di kemudian hari meski tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh Dahlan, menggambarkan adanya kesinambungan gerakan modernisasi pendidikan tersebut.
Kecenderungan modernisasi berbasis agama ini berlanjut dalam proses demokratisasi di Indonesia. Peran ini juga melibatkan tokoh Islam berbagai organisasi, seperti Himpunan Mahasiswa Islam, Persatuan Islam, Muhammadiyah, dan Nahdhatul Ulama. Bahkan, Indonesia dikategorikan negara berpenduduk Muslim terbesar yang berhasil membangun demokrasi. Kategori ini melampaui negara Muslim lain. Sejumlah penelitian menunjukkan, peran agamawan sangat signifikan dalam membangun demokrasi di Indonesia.
Melihat arus besar modernisasi yang melibatkan tokoh agama disimpulkan peran agamawan cenderung pada cultural struggle. Cultural struggle didefinisikan sebagai upaya memperjuangkan nilai-nilai modernitas, seperti demokrasi, pluralisme, toleransi, HAM, dan kebebasan berekspresi. Dalam batas tertentu, sebagian besar agamawan abai menyikapi ketidakadilan sosial akibat modernisasi.
Saya setuju dengan analisis Moeslim Abdurrahman, cendekiawan Muhammadiyah, bahwa reinterpretasi teks dan semangat pembaruan seharusnya dilandasi pembacaan kritis konteks sosial saat ini. Dalam refleksi tersebut, penafsir diajak merenungkan konteks sosial seperti apa yang sedang dihadapi. Tanpa mengidentifikasi konstruksi sosial di mana teks tersebut ingin dicari makna barunya, penafsiran ini akan kehilangan makna pembebasannya. Dengan begitu, tafsir teks yang responsif terhadap problem sosial yang krusial dapat ditemukan. Penggabungan hermeneutika sosial dan hermeneutika teks adalah prasyarat penting membangun tafsir yang peka terhadap dampak pembangunan.
Hermeneutika sosial
Sejauh ini tokoh-tokoh Muhammadiyah kurang dalam melakukan pembacaan konteks sosial. Ini menyebabkan organisasi Muhammadiyah kurang cekatan dalam memproduksi tafsir dan fatwa yang terkait dengan problem sosial semacam kemiskinan, penggusuran, dan pendidikan mahal. Alih-alih menghasilkan fatwa yang kritis terhadap dampak modernisasi dan kapitalisasi, Majelis Tarjih Muhammadiyah lebih berkutat dengan persoalan-persoalan ibadah dan TBC (takhayul, bidah, dan churafat).
Tanggung jawab para agamawan terhadap kehidupan publik merupakan bagian penting keberagamaan dan kesalehan. Karena itu, kualitas keagamaan seseorang sepatutnya diukur dari sejauh mana kepeduliannya terhadap persoalan sosial di sekitarnya. Seorang Muslim yang tidak peduli dengan problem sosial di lingkungannya dinyatakan oleh Al Quran sebagai orang yang melalaikan salat, bahkan pendusta agama (lihat surat Al-Ma’un). Sungguh pun keyakinan agama itu bersifat privat, ekspresi keberagamaan itu sejatinya memancar ke masyarakat.
Bukan dalam bentuk pendisiplinan, melainkan penegakan nilai kemanusiaan dan keadilan yang dibutuhkan bagi tegaknya masyarakat yang beradab. Ajaran amr ma’ruf nahy munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran) yang selama ini menjadi doktrin dakwah para ulama menjadi kunci hermeneutika yang penting dalam gerakan agamawan dalam mengkritik ketidakadilan sosial. Kemungkaran sosial dalam konteks masyarakat kontemporer banyak berkaitan dengan dehumanisasi, seperti penjualan manusia, pengabaian hak pekerja, dan keberpihakan negara terhadap pemodal ketimbang kepentingan masyarakat luas. Keberpihakan terhadap masyarakat marginal meniscayakan kepedulian tokoh agama dalam membangun tafsir kritis terhadap dampak modernisasi dan pembangunan.
Dengan demikian, ajakan Din Syamsuddin untuk merevitalisasi gerakan pembaruan Muhammadiyah merupakan poin penting dalam mengkaji ulang peran sosial yang akan dimainkan Muhammadiyah pada masa mendatang. Mudah-mudahan hal ini akan menjadi bahan renungan bagi para muktamirin nanti.
M Hilaly Basya 
Pengajar Studi Islam di Universitas Muhammadiyah Jakarta